Rabu, 31 Agustus 2011

Perihal tentang solat idul fitri


Beberapa amalan ketika akan atau sesudah sholat idul fitri.

Mandi

Siapa pun setuju kalau Islam itu agama yang bersih atau cinta kebersihan. Hadits yang sering kita dengar selalu mengingatkan kita akan kebersihan “kebersihan adalah sebagian dari iman”. Mandi adalah amalan yang paling sering dilakukan umat Islam untuk membersihkan diri terutama dari hadas besar atau kecil.
Kebiasaan mandi juga merupakan kebiasaan baik yang sering kita lakukan untuk terhindar dari segala kotoran yang menempel di tubuh. Ketika memulai aktivitas di pagi hari, mandi merupakan hal yang tak bisa terlupakan. Bukan saja karena agama mengajarkan, melainkan mandi mencerminkan kita memiliki kesadaran akan kesehatan tubuh.

Memakai wewangian

Memakai wewagian juga sangat familiar dalam masyarakat kita terutama setelah mandi
dan hendak keluar rumah. Hal ini juga dianjurkan oleh Nabi saw terutama ketika hendak shalat Idul Fitri. Dalam ajaran Islam, memakai wewangian juga punya aturan sendiri, yakni wewangian yang kita pakai ti
dak
boleh mengandung unsur yang haram atau makruh seperti alkohol sejenisnya. Wewangian yang dibenarkan dalam Islam adalah wewangian yang berasal dari bunga-bungaan yang unsur wanginya murni tanpa tambahan alkohol sejenisnya. Memakai wewangian juga memberi kesegaran tersendiri dan tidak menimbulkan bau yang tidak enak meskipun berlama-lama mendengarkan khutbah Idul Fitri atau bersalaman dengan orang lain. Ketika bersilaturahmi dengan sanak famili pun hal ini dianjurkan.
Berhias dengan memakai pakaian terbaik



Hadits yang mendasari amalan ini adalah “berhiaslah dengan pakain yang terbaik” (HR. Bukhari). Pakain yang terbaik dalam hal ini bukan berarti mahal. Pakain terbaik adalah pakain yang bersih dari hadas besar dan hadas kecil serta memiliki makna yang dalam atau paling disukai oleh pemakainya. Nabi saw bianya mengenakan pakain yang putih atau dominan putih, namun bukan berarti yang berwarna lain tidak boleh dikenakan pada Idul Fitri. Asal memenuhi syarat dan ketentuan sesuai syariah, pakaian warna apapun diperbolehkan.

Makan/sarapan terlebih dahulu

Hal ini didasarkan pada kebiasaan yang dilakukan Nabi saw sebagaimana hadits dari Malik ibn Anas yang menyebutkan bahwa rasulullah saw tidak keluar pada Hari Idul Fitri sebelum Beliau makan beberapa biji buah kurma. Selain sebagai pertanda bahwa puasa telah berakhir, sarapan sebelum shalat Id juga membantu kita untuk dapat melakukan shalat Id dengan baik dan khusu’. Selain itu, sarapan juga memberi tambahan tenaga buat kita untuk dapat langsung bersilaturahmi dengan teman, keluarga dan sanak famili setelah shalat Id dilakukan.
Makan beberapa butir kurma sebelum berangkat, sebagaimana hadits Anas radliyallahu ‘anhu. (HR. Al-Bukhari no. 953)
Menempuh jalan yang berbeda antara berangkat dan pulang

Dalam perjalanan ke tempat shalat atau masjid, disunnahkan untuk menempuh jalan yang berbeda antara sewaktu berangkat dengan pulang. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra ia berkata “Bahwasanya Rasulullah saw pada hari Idul Fitri mengambil jalan lain, selain jalan yang dilalui sewaktu berangkat” (HR. Bukhari). Menempuh jalan yang berbeda dimaksudkan untuk melewati jalan yang lebih jauh menuju rumah. Dalam perjalanan pulang tersebut bisa dilakukan sambil bersilaturahmi dengan orang lain dan sesekali mampir jika melewati rumah teman, kenalan atau keluarga. Makin banyak Anda bertemu dengan orang lain makin banyak pula Anda akan bersalaman dan bertegur sapa. Demikian juga dengan Idul Fitri Anda semakin bermakna.
Di Mana Kita Shalat Id dan Apa Tuntunan Syari’at terkait perihal Menuju Tempat Shalat tersebut?

Shalat Id secara syari’at dilaksanakan di mushalla Id (tanah lapang) bukan di masjid, dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum, dalam keadaan mereka sangat memahami keutamaan shalat di Masjid Nabawi yang menyamai seribu kali shalat di selainnya (kecuali Masjidil Haram). Tetapi dengan semua itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, Khulafaur Rasyidin dan seluruh sahabatnya radliyallahu ‘anhum tetap melaksanakan shalat Id di mushalla (tanah lapang). Hal ini berlandaskan hadits Abu Sa’id Al Khudri radliyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam selalu keluar menuju mushalla (tanah lapang) untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha…” (HR. Al-Bukhari no. 956)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sesuai dengan hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa beliau selalu mengerjakan dua shalat Id di tanah lapang pinggiran kampung, dan ini terus berkelanjutan di masa generasi pertama (umat ini), mereka tidak melaksanakan di masjid-masjid kecuali bila ada udzur atau dalam keadaan darurat,
Bagaimana Dengan Wanita?

Kaum wanita diperintah oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk menghadiri shalat Id, sebagaimana perkataan Ummu ‘Athiyyah radliyallahu ‘anha: “Kami diperintah untuk menghadirkan gadis-gadis dan wanita-wanita haidh pada 2 hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha -red), agar mereka menyaksikan kebaikan dan syiar dakwah kaum muslimin, sedangkan yang haidh diminta untuk menjauhi tempat shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun ada 2 hal yang perlu diingat dalam keluarnya wanita ke mushalla Id:
Pertama: Hendaknya keluar dalam keadaan menutup aurat, dengan tidak berhias, tidak memakai wewangian, dan tidak campur baur dengan laki-laki, karena dilarang oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan bisa menjadi fitnah bagi kaum lelaki.
Kedua: Tidak boleh berjabat tangan dengan selain mahramnya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam ketika membaiat kaum wanita: “Sungguh aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram).” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Juga sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Benar-benar kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Adh-Dhiyaa’ Al-Maqdisi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar